Adhi Nur Hidayat, S.TP
Peningkatan hasil adalah hal yang selalu diharapkan dalam
kegiatan on farm produksi pertanian. Berbicara suatu lokasi pertanian yang
tetap maka upaya ini dekat dengan aspek intensifikasi pertanian. Intensifikasi pertanian adalah kegiatan
peningkatan Kuantitas dan kualitas bertani dengan berbagai sarana untuk
meningkatkan hasil pertanian pada suatu lokasi.
Upaya intensifikasi
lahan tersebut dapat dilaksanakan dengan menerapkan konsep panca usaha
tani atau saat ini telah berkembang menjadi sapta usaha tani. Sapta usaha
tani meliputi pengolahan tanah yang baik, pengairan yang teratur, pemilihan
bibit unggul, pemupukan berimbang, pengendalian hama – penyakit tanaman, dan
pengolahan pasca panen.
Setiap aktivitas
tersebut tidaklah terlepas dari sarana pertanian guna memudahkannya. Sarana
yang dimaksud adalah alat dan mesin pertanian (alsintan). Nah dengan penggunaan
sarana yang tepat diharapkan ada efektivitas dan efisiensi proses sehingga
hasil pertanian pun dapat meningkat produksinya. Dengan alat dan mesin yang
tepat kegiatan tani semakin cepat, rapi dan mengurangi kerusakan. Aktivitas on
farm dari mulai pengolahan lahan, penanaman, pemupukan dan pengobatan,
pemanenan hingga pasca panen pasti membutuhkan sarana tersebut. Misalnya saat
pengolahan lahan sawah, petani ada yang menggunakan bajak tradisional yang
ditarik oleh sapi/kerbau atau yang beralih kepada mesin bajak traktor
tangan.
Alat dan mesin pertanian ini berkembang sesuai dengan kemajuan
teknologi dan budaya. Secara global perkembangan teknologi alat dan mesin
pertanian sudah sangat pesat. Bahkan, dengan perkembangan teknologi mesin dan
komputer dewasa ini telah dikenal istilah pertanian presisi (precision farming)
sebuah konsep pertanian yang mengusahakan kesesuaian tingkat tinggi perlakuan
sumberdaya dan kegiatan pertanian dengan kondisi tanah dan kebutuhan tanaman
berdasarkan spesifik lokasi di dalam lahan.
Berdasarkan pengalaman pendampingan pemberdayaan petani
pedesaan, realitas yang terjadi pada level akar (grass root) adopsi teknologi alat dan mesin dirasa masih
lamban dibandingkan dengan perkembangan teknologi tersebut. Beberapa faktor
yang mungkin antara lain adalah petani tidak mengadopsi teknologi alsintan
sesuai yang dianjurkan karena hal tersebut asing bagi mereka. Petani tidak tahu
teknologi baru, apalagi manfaat dan cara penggunaannya. Selanjutnya
adalah teknologi alsintan tersebut relatif berharga mahal, apalagi ditambah
saat ini petani pedesaan dihadapkan dengan persoalan semakin sempitnya lahan
pertanian.
Pada aspek kecil –
mikro, program pemberdayaan harus mampu berperan dalam menjembatani pengetahuan
teknologi pertanian termasuk dalam adopsi teknologi alat dan mesin pertanian
sesuai dengan kebutuhan lapangan. Petani perlu disampaikan gambaran pencapaian teknologi
alsintan secara global dari teknologi yang paling sederhana sampai teknologi
canggih sebagai salah satu topik dalam peningkatan teknologi pertanian mereka.
Bisa jadi ada
teknologi-teknologi alat pertanian sederhana yang dapat diadopsi. Kalaupun tidak
ada, minimal penyampaian hal tersebut menjadi wawasan baru yang memberi
inspirasi untuk mewujudkan pertanian yang lebih baik.
Misalnya saja petani Desa Lonroeng, Kecamatan Eremerasa, Kabupaten Bantaeng
dalam program Klaster Mandiri Basis Pertanian Dompet Dhuafa yang diinisiasi
oleh Pertanian Sehat Indonesia. Mereka membuat alat caplak legowo dengan
mencontoh alat dari dinas pertanian bersamaan dengan dianjurkannya teknologi
padi jajar legowo dalam program klaster mandiri tersebut. Nah masih banyak alat
– alat pertanian sederhana lainnya yang secara swadaya dapat digalakkan.
Misalnya pada pertanian padi sawah antara lain alat penyiang rumput, alat
perontok padi, dan lain-lain.
Selain itu program pemberdayaan petani dapat pula memberikan
arahan dan pendampingan penggunaan dan perawatan alat dan mesin pertanian yang
baik dan benar. Misalnya bagaimana cara penggunaan hand sprayerdalam pengendalian hama penyakit yang baik
sehingga memenuhi aspek kesehatan. Ataupun penggunaan traktor tangan dalam
pengolahan lahan sawah sehingga diperoleh hasil pelumpuran yang baik dengan
lebih efisien juga keselamatan kerja.
Mengenai persoalan
rendahnya adopsi teknologi alsintan karena masalah mahalnya teknologi tersebut
bagi para petani pedesaan, perbedaan adopsi teknologi di setiap daerah di
Indonesia, maka hal ini tentu membutuhkan peran dan kebijakan dari pemerintah
guna menyelesaikan problem pertanian negeri ini secara lebih mendasar. Karena
program pemberdayaan tentu saja terbatas dalam kemampuannya menyelesaikan
masalah tersebut.